BAB II
PEMBAHASAN/ISI
1.
Biografi Hamka
Hamka nama lengkapnya adalah
Haji Abdul Malik Karim Amarullah, orang sering menyebutnya dengan Buya HAMKA,
dia lahir di sungai Batang, Maninjau Sumatra Barat, tanggal 16 Februari 1908
M/13 Muharram 1326 H. Kata “haji” pada awalnya namanya didapat setelah
menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 di kota suci makkah.[1]
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin
syekh Muhammad Amarullah (gelar tuanku kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji
Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di mekkah,
pelopor kebangkitan kaum muda dan ayahnya juga seorang tokoh muhammadiyah di
Minangkabau. Adapun ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria,
ibunya wafat pada tahun 1934. Jika dilihat dari geneologis dapat diketahui,
bahwa beliau berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan
dengan generasi pembaharu islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal
abad XIX. Sejak kecil hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an
langsung dari ayahnya, ketika usianya 6 tahun hamka dibawa oleh ayahnya ke
padang panjang, dan pada usia 7 tahun dia dimasukkan ke sekolah desa yang hanya
sempat dienyam sekitar 3 tahun, setiap malamnya dia belajar mengaji dengan ayahnya
sampai khatam, pada saat usia hamka 12 tahun orang tuanya bercerai, hal
tersebut merupaka pengalaman pahit bagi hamka, dan tatkala usianya 16 tahun
(tahun 1924), dia sudah meninggalkan Minangkabau dan menuju ke daerah Jawa
yaitu di daerah Yogyakarta, dia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan
kepada para aktivisnya melalui tokoh pergerakan nasional diantaranya HOS
Tjokroaminoto. Adapun pendidikan formal yang dilalui hamka sangat sederhana
yaitu mulai tahun 1916-1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah
School di Padang Panjang, serta Sumatra Thawalib di padang panjang dan di
parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII akan tetapi ia tidak mempunyai
ijazah.hamka juga dikenal sebagai ulama pujangga, karena kreativitasnya yang
mampu menghasilkan karya sastra yang bernilai tinggi. Sepanjang hidupnya hamka
banyak mengabdikan didrinya dalam
keagamaan, diantaranya yaitu hamka terpilih sebagai ketua majelis
pimpinan muhammadiyah daerah Sumatra Barat dari tahun 1946 sampai pada tahun
1949. Pada tanggal 5 April 1929 hamka menikah dengan Siti Raham Endah Sutan
(anak mamaknya), pernikahnnya berjalan harmonis dan bahagia, mereka dikaruniai
11 orang anak yaitu hisyam(meninggal dunia), zaky, rusydi, fakhri, azizah,
irfan, aliyah, fathiyah, hilmi, afif dan syakib. Setelah istrinya meninggal
dunia, satu setengah tahun kemudian ia menikah lagi dengan seorang perempuan
asal cirebon yaitu Hj. Siti Khadijah pada tahun 1973.Hamka meninggal dunia pada
hari Jumat tanggal 24 Juli 1981 dalam keadaan khusnul khotimah .[2]
2.
Pemikiran Tasawuf Hamka
Pemikiran
tasawuf Hamka tertuang Dalam bukunya yang berjudul “tasawuf modern” dimana dia
mencoba membahasakan tasawuf melalui “bahasa bumi” yang mudah dipahami
oleh masyarakat umum.[3]
Dalam bukunya tersebut hamka memberikan apresiasi yang wajar terhadap
penghayatan esoteris islam, sekaligus
juga peringatan bahwa esoterisme itu hendaknya tetap terkendalikan oleh
ajaran standar syari’ah. Disini ia menghendaki suatu penghayatan keagamaam
esoteris yang mendalam, akan tetapi tidak perlu melakukan pengasingan diri
(‘uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diridalam masyarakat. Pemikiran
tasawuf hamka lebih bersifat “neo sufisme”[4]
dimana dia meletakkan dasar-dasar sufisme baru yang disebut tasawuf modern atau tasawuf
positif yang berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman
(mukasyafah), dimana jalan tasawufnya itu melalui sikap zuhud yang dapat
dilaksanakan dalam peribadahan resmi sikap
zuhud, maksudnya untuk dekat dengan tuhan itu dengan
cara memanfaatkan peribadahan sebagai media tasawuf dimana dalam artian
disamping melaksanakan perintah agama juga mencari hikmah dibalik semua
perintah ibadah itu yang nantinya menghasilkan releksi hikmah yang berupa sikap
positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos sosial yang tinggi, jadi tidak
perlu harus menyendiri menjauhi kehidupan dunia. Penghayatan tasawuf hamka itu
berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan ingin bersatu dengan tuhan, adapun
refleksi tasawuf menurut hamka yaitu berupa menampakkan makin meningginya kepekaan
sosial dalam diri si sufi. Jadi intinya secara garis besar, konsep dasar
sufistik menurut hamka adalah sufisme yang berorientasi ke depan.
3.
Corak Pemikiran Tasawuf
Hamka
Corak pemikiran Hamka seakan
mengacu pada tasawuf falsafi, mengingat konsepsi tentang tuhan merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam dan filusoof.[5]
Corak pemikiran tasawuf hamka terwarnai dari pemikirannya Ibn Taimiyah, Imam Al
Ghazali, dan juga Ibn Qayyim al Jazwiyah. Hamka melalui tasawuf modernnya
mengembalikan tasawuf pada posisi yang sebenarnya, yaitu sebagai wahana
peribadatan yang dapat mendekatkan hamba dengan sang penciptanya, disamping itu
hamka telah memainkan perannya yang cukup besar dalam mengembangkan sikap
asketik bagi umat islam. Hamka mencoba menonjolkan segi-segi kesufian dari sisi
ibadah islam tanpa harus mengikuti ibadah tareqot.
4.
Karya-karya Hamka
Banyak karya-karya yang
dihasilkan hamka antara lain ada 118 buku,[6]
Adapun menurut Samsul Nizar dalam bukunya yang berjudul Seabad Buya Hamka menyebutkan
bahwa karya-karya hamka adalah sebagai berikut :[7]
1.
Menghasilkan karya-karya sastra diantaranya: Di Bawah
Lindungan Ka’bah, di Lembah Sungai Nil, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
[1] Abdullah
Hasan, Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara Surabaya,
2004), 301.
[2] Herry
Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), 66.
[3] Samsul
Nizar, Seabad Buya Hamka (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
47.
[4] Solihin,
Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 276.
[6] Nina M
Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 295.
[7] Samsul
Nizar,Seabad..., 47-56.
1 komentar:
tks ya..
izin Copas
By Yazid Aceh Singkil
Posting Komentar